Usaha
peternakan sapi potong pada saat ini masih tetap menguntungkan.
Pasalnya, permintaan pasar terus memperlihatkan peningkatan. Termasuk di
pasar ekspor seperti ke Malaysia. Di negara jiran itu permintaan
cenderung meningkat yang dipicu oleh bergesernya tradisi memotong
kambing ke tradisi memotong sapi atau kerbau pada saat perhelatan
keluarga atau perayaan lainnya.
Tidak
mengherankan, lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam hal
pertanian termasuk peternakan, Deptan, mengakui masalah utama usaha sapi
potong di Indonesia terletak pada suplai yang selalu mengalami
kekurangan setiap tahunnya.
Sementara
laju pertumbuhan konsumsi dan pertambahan penduduk tidak mampu
diimbangi oleh laju peningkatan populasi sapi potong dan pada gilirannya
memaksa Indonesai selalu melakukan impor baik dalam bentuk sapi hidup
maupun daging dan jeroan sapi.
Menurut
data Susenas (2002) yang dikeluarkan BPS, memperlihatkan konsumsi
daging sapi dan jeroan masyarakat Indonesia sebesar 2,14 kg/kap/tahun.
Konsumsi tersebut sudah memperhiutngkan konsumsi daging dalam bentuk
olahan seperti sosis, daging kaleng dan dendeng.
Asumsi | |
* | Penduduk tahun sebesar 206,3 juta dengan tingkat pertumbuhan sebesar 1,49% per tahun |
* | Populasi sapi lokal sebesar 11,6 juta ekor dengan tingkat pertumbuhan sebesar 14% per tahun. |
* | Konsumsi daging sebesar 1,72 kg/kapita/tahun dengan peningkatan sebesar 0,1 kg/kapita/tahun. |
* | Produksi daging sapi sebesar 350,7 ribu ton. |
Proyeksi kebutuhan daging | ||
* Th 2000 | - | Penduduk 206 juta orang |
- | Konsumsi 1,72 kg/kapita/tahun | |
- | Produksi daging 350,7 ribu ton/tahun | |
- | Pemotongan sapi 1,75 juta ekor/tahun | |
* Th 2010 | - | Penduduk 242, 4 juta orang |
- | Konsumsi 2,72 kg/kapita/tahun | |
- | Produksi daging 654,4 ribu ton/tahun | |
- | Pemotongan sapi 3,3 juta ekor/tahun (naik 88,6%) | |
* Th 2020 | - | Penduduk 281 juta orang |
- | Konsumsi 3,72 kg/kapita/tahun | |
- | Produksi dagiing 1,04 juta ton/tahun | |
- | Pemotongan sapi 5,2 juta ekor/tahun (naik 197%) |
Sumber : Apfindo
Dengan
kondisi tersebut diperkirakan keadaan populasi 2009 hanya mampu memasok
80% dari total kebutuhan dalam negeri. Keadaan tersebut tentu sangat
menghawatirkan karena suatu saat akan terjadi dimana kebutuhan daging
sapi dalam negeri sangat tergantung kepada impor. Dengan demikian
ketergantungan tersebut tentu akan mempengaruhi harga sapi lokal
(datinnak).
Konono,
menurut analisa Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia
(Apfindo), populasi sapi lokal Indonesoia, cenderung semakin menurun
tanpa ada subtitusi dari impor sapi bakalan. Contoh pada 1997, populasi
sapi lokal sebesar 11,9 juta ekor menjadi 11 juta ekor (8,2%) pada 2000
dikarenakan impor sapi bakalan terganggu krisis.
Semakin sulitnya sapi lokal
memenuhi kebutuhan daging pada hari-hari besar keagamaan (Idul Fitri,
Natal, dan tahun baru), tanpa dibantu oleh sapi impor (kasus 2001). Dan
tiap provinsi sumber ternak mulai khawatir terhadap pupolasi sapi di
daerahnya (Sulawesi Selatan, NTT, NTB, Jateng dan Jatim).
Kemudian adanya pemotongan sapi betina produktif. Pemerintah tidak
mempunyai kewenangan apapun untuk mencegah sapi betina produktif untuk
dipotong. Disinyalir 20%-30% dari jumlah sapi lokal yang dipotong adalah
betia produktif.
Belum lagi akibat soal kualitas
sapi lokal. Semakin menurun dengan terjadinya in-breeding diantara sapi
lokal sehingga berat hidup sapi lokal semakin menurun (rata-rata 300
kg). Program cross breeding yang dilakukan selama ini tidak
mengakibatkan peningkatan kualitas sapi lokal karena keterunannya (F-1)
terus dipotong, bukan untuk dikembangbiakan kembali.
Kondisi itu, dengan sendirinya,
membuat Indonesia harus mampu mendorong pertumbuhan produksi sapi
sekaligus daging sapi. Arena kebutuhan daging sapi yang semakin
meningkat, jika tidak disertai pertumbuhan populasi, mengakibatkan
semakin banyaknya sapi lokal yang diptong termasuk sapi betina, sehingga
jika tidak waspada Indonesia akan masuk dalam food trap. Di mana
ketergantungan akan impor akan semakin besar dan pada akhirnya akan 100%
tergantung impor.
Itu sebabnya, bisnis ternak sapi
potong, menjadi salah satu lahan usaha yang prospektif. Salah satu
contoh kasus di Provinsi Sumatra Barat. Saat ini, di provinsi itu,
diyakini pertumbuhan komsumsi atas daging ternak sapi terus
memperlihatkan trend meningkat namun belum mampu dipenuhi oleh produksi
daging nasional.
Apalagi, produksi daging dari
ternak sapi potong di Sumbar, berpotensi untuk diekspor ke sejumlah
negara di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia dan Singapura karena
permintaan daging di kedua negara tersebut cenderung meningkat.
Peluang ekspor daging sapi ke
Malaysia sangat terbuka karena permintaan di negara jiran itu cenderung
meningkat. Hal itu dipicu oleh bergesernya tradisi memotong kambing
kepada tradisi memotong sapi atau kerbau pada saat perhelatan keluarga
atau perayaan lainnya.
Bahkan, kendati kebutuhan konsumsi
daging sapi di Provinsi Sumbar sudah terpenuhi, budi daya ternak sapi
potong di daerah ini tetap membaik karena hanya untuk memenuhi atau
mengisi pangsa pasar daerah lainnya seperti Jambi, Riau dan Riau
Kepulauan.
Target produksi daging tersebut
mengacu kepada target hasil kesepakatan Widya Karya Pangan dan Gizi 10
KG per kapita per tahun (27,5% x daging sapi).
Dengan demikian, impor daging ke
Sumbar tidak diperlukan lagi, sebaliknya Sumbar bersiap-siap untuk
melakukan ekspor daging sapi ke sejumlah negara di Asia Tenggara.
Tahun lalu, Sumbar ditargetkan
mampu memproduksi sedikitnya 12 juta kg daging sapi dengan populasi sapi
potong sekitar 623.520 ekor.
Jumlah itu diperuntukkan bukan
hanya untuk memenuhi kebutuhan komsumsi daging masyarakat daerah ini
yang diperkirakan belum mencapai 10 juta kg per tahun.
Skala rumah tangga
Banyak sistem yang biasa digunakan
untuk mengembangkan ternak sapi potong. Salah satu sistem yang paling
dikenal adalah sistem kandang dalam lembaga yang berbadan hukum resmi
seperti koperasi.
Sistem ini termasuk sistem berskala
besar karena jumlah sapi yang dibudidayakan bisa mencapai ratusan ekor,
selain keuntungan yang diperoleh dari aplikasi sistem ini jauh lebih
besar.
Tapi, boleh juga seperti yang
dilakukan di Sumbar. Saat ini di provinsi itu, mulai berkembang sistem
lain yakni ternak sapi potong berskala rumah tangga yang menggunakan
cara konvensional sehingga memudahkan sebuah rumah tangga mengembangkan
usaha ternak sapi potong ini.
Sistem ini dikembangkan karena
ternak sapi potong dipandang sebagai bentuk usaha yang dapat memberikan
tambahan pendapatan kepada para peternak kecil skala rumah tangga
tersebut sekaligus mengangkat masyarakat ekonomi lemah.
Ternak sapi potong berskala rumah
tangga tersebut sangat ekonomis, baik dari sisi biaya pemeliharaan
maupun biaya pembuatan kandang. Karena berskala kecil, pembuatan kandang
biasanya berbentuk tunggal.
Tapi hal teknis lainnya seperti
ukuran kandang untuk seekor sapi tidak jauh berbeda dengan ukuran
kandang untuk penggemukan sapi komersil dalam skala besar.
Ukuran kandang untuk seekor sapi
jantan dewasa 1,5×2 meter atau 2,5×2 meter. Sedangkan untuk sapi betina
dewasa 1,8×2 meter dan anak sapi 1,5×1 meter dengan tinggi 2-2,5 meter.
Sistem budi daya ternak sapi
berskala rumah tangga ini sudah diterapkan di Kota Sawahlunto, Sumbar
sejak 2003. Di mata Pemkot Sawahlunto penerapan sistem ini mampu
mendorong pendapatan sebuah rumah tangga hingga berlipat.
Seperti yang lazim diketahui,
jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia saat ini merupakan
sapi asli Indonesia dan sapi impor. Dari jenis sapi potong tersebut,
masing-masing memiliki sifat dan ciri khas baik dilihat dari bentuk
luarnya seperti ukuran tubuh, warna bulu maupun genetiknya.
“Biasanya sapi-sapi asli Indonesia
yang dijadikan sumber daging para peternak sapi adalah sapi bali, sapi
ongole, sapi po (peranakan ongole), sapi madura dan sapi aceh. Ini harus
diketahui peternak,”.
Pengetahuan teknis lain yang juga
harus dipegang peternak adalah bagaimana mengenal tipe sapi potong saat
membeli bibit. Misalnya dari sisi bentuk badan, bibit tipe sapi potong
memiliki bentuk badan persegi panjang atau berbentuk bulat silinder.
Sedangkan badan bagian muka, tengah
dan belakang tumbuh sama kuat. Sedangkan garis badan atas dan bawah
sejajar. “Pengetahuan ini diberikan agar peternak dapat memilih bibit
tipe sapi potong yang berkualitas,”.
Selain masalah bibit, peternak
harus tahu tentang bagaimana memilih lokasi penggemukan yang memenuhi
syarat ideal. Lokasi ideal untuk membangun kandang adalah daerah yang
letaknya cukup jauh dari pemukiman penduduk. Kandang harus terpisah dari
rumah tinggal dengan jarak minimal 10 meter. Sinar matahari harus dapat
menembus pelataran kandang dan dekat dengan lahan pertanian.
Pendapatan meningkat
Pola tersebut ternyata membuahkan
hasil. Dalam tempo enam bulan, satu ekor sapi potong bisa menghasilkan
keuntungan sekitar Rp4 juta-Rp5 juta.
Padahal, dalam satu rumah tangga, sapi potong yang dibudidayakan rata-rata dua sampai tiga ekor.
“Harga bibit satu ekor berkisar
antara Rp6 juta-Rp7 juta, sementara setelah dipelihara selama enam
bulan, harga sapi di pasaran meningkat antara Rp10 juta-Rp11 juta,
sehingga peternak memperoleh keuntungan Rp4 juta-Rp5 juta per ekor atau
sekitar Rp12 juta-Rp15 juta per satu rumah tangga,”.
0 komentar:
Posting Komentar